SETIAP remaja tak mungkin membiarkan dirinya berdiam diri dalam kesendiriannya. Rasa ingin bersama dengan seseorang yang dicintai untuk menjalin rumah tangga, pasti hadir dalam benaknya. Begitu pula dengan seorang gadis yang ingin mengakhiri masa lajangnya. Seperti apa ya jika gadis minta nikah?
Jika seorang gadis meminta untuk menikah, ada yang mengatakan dengan isyarat, dan ada pula yang berpendapat secara terang-terangan. Karena itulah seorang ayah, atau pun orang-orang yang berada dekat dengan gadis seperti ini, dituntut untuk selalu cerdas dan mengikuti tingkah laku si anak gadis dengan saksama.
Contohnya, ketika Nabi Musa AS menolong dua orang gadis dengan memberi minum kepada ternak mereka. Setelah itu Musa kembali berteduh di bawah sebatang pohon, sedangkan kedua gadis itu pulang.
Beberapa lama kemudian salah seorang dari gadis tadi berjalan mendatangi Musa dengan wajah menunduk penuh dengan rasa malu seraya berkata, “Bapakku memanggil Anda untuk membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak kami.”
Musa memenuhi undangan itu dan bertemulah dia dengan bapak si gadis yang bernama Syuaib. Di hadapan bapaknya dan Musa, si gadis berkata, “Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja dengan kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk bekerja dengan kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Mendengar ucapan anak gadisnya, Syuaib paham apa maksudnya. Ayah yang bijak itu langsung berkata kepada Musa, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, dengan syarat bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun.”
Dalam hal ini, gadis atau pun janda mempunyai hak untuk menerima atau menolak calon suami yang disodorkan kepadanya. Seperti yang dikishkan oleh Aisyah RA, “Seornag wanita datang kepada Rasulullah SAW dan mengeluh bahwa ayahnya akan menikahkannya dengan anak pamannya tanpa persetujuannya. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya memilih, menerima atau menolak. Mendengar tawaran dari Rasulullah itu, wanita itu berkata, ‘Ya Rasulullah, tidak mengapa saya menuruti dan menyetujui keinginan ayahku, saya hanya ingin memberitahu kepada kaumku bahwa orang tua tidak berhak memaksa anak-anak gadisnya’,” (HR. An-Nasa’i).
Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani /islampos.com
Jika seorang gadis meminta untuk menikah, ada yang mengatakan dengan isyarat, dan ada pula yang berpendapat secara terang-terangan. Karena itulah seorang ayah, atau pun orang-orang yang berada dekat dengan gadis seperti ini, dituntut untuk selalu cerdas dan mengikuti tingkah laku si anak gadis dengan saksama.
Contohnya, ketika Nabi Musa AS menolong dua orang gadis dengan memberi minum kepada ternak mereka. Setelah itu Musa kembali berteduh di bawah sebatang pohon, sedangkan kedua gadis itu pulang.
Beberapa lama kemudian salah seorang dari gadis tadi berjalan mendatangi Musa dengan wajah menunduk penuh dengan rasa malu seraya berkata, “Bapakku memanggil Anda untuk membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak kami.”
Musa memenuhi undangan itu dan bertemulah dia dengan bapak si gadis yang bernama Syuaib. Di hadapan bapaknya dan Musa, si gadis berkata, “Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja dengan kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk bekerja dengan kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Mendengar ucapan anak gadisnya, Syuaib paham apa maksudnya. Ayah yang bijak itu langsung berkata kepada Musa, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, dengan syarat bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun.”
Dalam hal ini, gadis atau pun janda mempunyai hak untuk menerima atau menolak calon suami yang disodorkan kepadanya. Seperti yang dikishkan oleh Aisyah RA, “Seornag wanita datang kepada Rasulullah SAW dan mengeluh bahwa ayahnya akan menikahkannya dengan anak pamannya tanpa persetujuannya. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya memilih, menerima atau menolak. Mendengar tawaran dari Rasulullah itu, wanita itu berkata, ‘Ya Rasulullah, tidak mengapa saya menuruti dan menyetujui keinginan ayahku, saya hanya ingin memberitahu kepada kaumku bahwa orang tua tidak berhak memaksa anak-anak gadisnya’,” (HR. An-Nasa’i).
Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani /islampos.com