Air Tertelan saat Berwudhu dan Air Masuk Telinga saat Mandi di Bulan Ramadhan


Puasa (Ramadhan) merupakan ibadah yang agung dan sekaligus sebagai sarana melatih diri dalam mengendalaikan hawa nafsu. Alumni puasa diharapkan menjadi pribadi yang takut kepada Allah; menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


Insan yang menjalankan puasa tidak bisa lepas dari kondisi dan tempat mereka menjalankannya. Sebagian tinggal di daerah beriklim sejuk sehingga relatif lebih ringan dalam menjalankannya. Sebagian lagi tinggal di daerah yang panas seperti perkotaan padat penduduk, daerah gurun, dan sebagainya.

Terkadang umat Muslim yang berada dalam kondisi seperti ini merasa payah, sehingga sebagian bermaksud mengurangi rasa panas di tubuh dengan cara berkumur, mengguyur kepala, atau mandi. Namun terkadang ada sebagian air yang masuk ke ronggo tubuh seperti melalui mulut ketika berkumur atau telingan ketika mengguyur kepala dan mandi. Jika dikaitkan dengan ibadah puasa, bagaimanakah keadaan puasanya? Apakah wajib qadla? Berikut paparan singkatnya.



Berkaitan dengan berkumur ketika puasa, Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan:

أَمَّا الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ فَمَشْرُوعَانِ لِلصَّائِمِ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّحَابَةُ يَتَمَضْمَضُونَ وَيَسْتَنْشِقُونَ مَعَ الصَّوْمِ لَكِنْ قَالَ لِلَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا فَنَهَاهُ عَنْ الْمُبَالَغَةِ لَا عَنْ الِاسْتِنْشَاقِ

“Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung (tetap) disyari’atkan bagi orang yang berpuasa sebagaimana kesepakatan para ulama. Nabi Muhammad saw dan para Sahabat dahulu (juga) berkumur dan menghirup air ke hidung ketika sedang puasa. Namun beliau saw berpesan sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Laqith bin Shabirah;

عن عاصِم بنِ لقيط بن صَبِرَةَ عن أبيه لقيط بن صَبِرَةَ قال قال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلم بالِغْ في الاسْتِنْشَاق إلا أن تكون صَائِماً

Dari Ashim bin Abi Laqith bin Shabirah, dari bapaknya, Laqith bin Shabirah berkata; Rasulallah saw bersabda: Berlebihlah dalam istinsyaq (menghirup air ke hidung) kecuali engkau sedang puasa [H.R. Abu Dawud (2366), at-Tirmidzi (788), an-Nasa’i (114), Ibnu Majah (448). 

Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai hadis ini sahih dalam tahqiq beliau atas Sunan Abi Dawud, I: 100 penerbit Dar ar-Risalah al-‘Ilmiyyah tahun 1430 H/2009 M).” Dalam hadits tersebut, Rasulallah saw hanya melarang berlebihan ketika berkumur dan bukan berkumurnya itu sendiri (lihat Majmu’ah al-Fatawa, XXV: 266).

Adapun berlebihan dalam berkumur -sebagaimana dijelaskan oleh al-Khatib asy-Syarbini- adalah memasukkan air hingga ke ujung langit-langit mulut serta mengenai gigi dan gusi. Sehingga, orang yang berlebihan dalam berkumur dan menghirup air ketika wudlu kemudian air tersebut masuk ke kerongkongan, maka puasanya batal. Sebab orang yang berpuasa dilarang untuk berlebihan dalam berkumur dan menghirup air. Adapun jika tidak berlebihan namun terhirup atau tertelan (tidak sengaja), maka hal ini tidak membatalkan puasa dan dianggap sebagai ketidak sengajaan (lihat Mughn al-Muhtaj, I: 101, 629 dan al-Majmu’, VI: 230). Pendapat ini sejalan dengan hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak menganggap) kesalahan/lalai, lupa, dan keterpaksaan dari umatku [H.R. Ibnu Majah (2045), Ibnu Hibban (7219), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir (765), ad-Daruquthni (4351), al-Hakim, II: 198, al-Baihaqi, VII: 356. 

Dinilai sahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Sunan Ibnu Majah, III: 201, terbitan Dar ar-Risalah al-‘Ilmiyyah tahun 1430 H/2009 M).”

Ketentuan berkumur dan istinsyaq berlaku dalam wudlu dan juga di luar wudlu.

Kesimpulannya, berkumur dan menghirup air ke hidung termasuk sunnah wudlu dan dibolehkan bagi orang yang puasa, namun dengan catatan tidak berlebihan. Adapun jika berlebihan dan kemudian tertelan meskipun tidak disengaja, maka menurut madzhab Syafi’i adalah membatalkan puasa. Sebab ia dianggap tidak menjaga diri dari pembatal puasa, kecuali jika ia tidak mengetahui hal ini sebelumnya. 

Adapun jika tidak berlebihan dalam berkumur dan menghirup air namun tertelan atau terhirup secara tidak sengaja, maka hal ini tidak membatalkan puasa. Sebab kealpaan adalah hal yang tidak bisa dikuasai oleh manusia sebagaimana riwayat hadits di atas.

Dan setelah berkumur, sisa air yang tertinggal di mulut tidak harus dikeringkan dengan kain dan semisalnya. Sebab basahnya mulut setelah berkumur adalah sesuatu yang sulit untuk dihindari (lihat al-Majmu’, VI: 231). Selain itu tidak terdapat riwayat yang menerangkan tentang wajibnya mengeringkan mulut setelah berkumur, baik ketika wudlu maupun bukan. Perintah yang ada hanyalah tidak berlebihan dalam menghirup air, dan para ulama menganalogikannya dengan berkumur.

Air masuk ke telinga saat mandi di siang hari bulan Ramadhan.


Pada prinsipnya, air yang masuk ke rongga seperti hidung, telinga, dan mata tidak membatalkan puasa selama tidak sampai pada kerongkongan. Namun para ulama kemudian merinci pembahasan; apakah rongga seperti telinga memiliki saluran hingga kerongkongan atau tidak, sehingga perkara ini tidak hanya terbatas pada bahasan air yang masuk ke telinga ketika mandi namun sampai pada penggunaan obat tetes telinga dan kemungkinan masuknya hingga ke otak atau ke kerongkongan.

Mayoritas pendapat ulama madzhab Hanafi, Maliki, riwayat paling shahih dari ulama madzhab Syafi’i, dan juga pendapat madzhab Hanbali mengatakan apabila seseorang menuangkan benda cair ke telinganya dan kemudian sampai ke kerongkongan atau otaknya, maka puasanya batal (untuk selengkapnya lihat Bada’I ash-Shana’i, II: 93, al-Mudawwanah, I: 198, al-Majmu’, VI: 204, dan Syarh al-‘Umdah li Ibn Taimiyyah, I: 387). Namun sebagian ulama mengatakan bahwa hal ini (memasukkan benda cair ke telinga) tidak membatalkan puasa. Ini merupakan satu pendapat dari madzhab Syafi’I sebagaimana terdapat dalam kitab al-Majmu’ (VI: 204)

Adapun berkaitan dengan mandi, adalah tidak dianjurkan untuk memasukkan air ke telinga sedikit atau pun banyak dengan tujuan apapun. Ketika mandi, seseorang meratakan air ke seluru tubuhnya, termasuk ke telinga. Ibnu Hajar al-Haitamiy -dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj- mengatakan, ratanya air ke seluruh tubuh (ketika mandi wajib –pent) adalah cukup didasari oleh dugaan terkuat (ghalabah adz-dzann). Dan cara meratakan air ke telinga adalah dengan mengambil air dengan satu tangan kemudian mengalirkannya ke telinga (bagian luar) supaya telinga bagian dalam tidak kemasukan air.

Oleh karena itu, jika seseorang mandi atau berwudlu kemudian air masuk ke telinga tanpa disengaja dan berlebih-lebihan (mubalaghah), maka puasanya tidak batal berdasarkan pendapat yang rajih (lihat fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 300310 dan 44729).

Sebagai bentuk kehati-hatian terhadap hukum, sebaiknya berhati-hati ketika mandi agar tidak ada air yang masuk ke telinga bagian dalam, mengingat mayoritas ulama madzhab menyatakan batalnya puasa orang yang sengaja dan atau berlebih-lebihan ketika mandi hingga air masuk ke bagian dalam telinganya.


Hal ini tidak terlepas dari bahasan tentang apakah telinga memiliki saluran tembus (manfadz) hingga ke kerongkongan atau tidak, dan juga berkaitan dengan bahasan berkumur dan menghirup air ke hidung bagi orang yang berwudlu. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
 
.tongkronganislami.net

Subscribe to receive free email updates: