Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa - Puasa adalah tentang meraih predikat taqwa, dan wasilah yang digunakan adalah menahan diri dari makan, minum, serta berhubungan badan antara suami dan istri di siang hari terutama di bulan Ramadhan. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat mengekang hawa nafsunya, baik yang bersumber dari perut atau kemaluan.
Jika makan dan minum di siang hari dapat membatalkan puasa, lalu bagaimana halnya dengan dahak, ingus dan sejenisnya jika tertelan atau sengaja ditelan ketika sedang puasa? Berikut bahasan singkatnya.
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa
Batuk Berdahak
Hal yang harus diketahui terlebih dahulu, ludah dan dahak adalah suci. Hal ini sebagaimana riwayat dari Rasulallah saw:
قَالَ عُرْوَةُ عَنِ المِسْوَرِ وَمَرْوَانَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ حُدَيْبِيَةَ فَذَكَرَ الحَدِيثَ وَمَا تَنَخَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ
“Urwah berkata, dari Miswar dan Marwan bahwa Nabi saw keluar (pergi) pada waktu (perjanjian) Hudaibiyah lalu disebutkan kisahnya….. Tidaklah Nabi saw berdahak, kecuali dahaknya tersebut jatuh di telapak tangan para Sahabat. Mereka mengusap dahak Nabi sholallahu alaihi wa salam tersebut di wajah dan kulitnya (H.R. al-Bukhari no. 2731).”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَزَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَوْبِهِ
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: ‘Nabi saw meludah di pakaiannya (H.R. al-Bukhari 241).”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي القِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ
“Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw melihat dahak (nukhaamah) pada kiblat, beliau merasa berat (tidak senang) akan hal itu dan itu nampak di wajahnya. Kemudian beliau mengeriknya dengan tangan. Setelah itu beliau bersabda: ‘Sungguh salah seorang dari kalian sedang berhadapan dengan Rabnya ketika shalat, atau sungguh Rabbnya berada antara dirinya dan kiblat. Maka janganlah salah satu dari kalian meludah ke arah kiblat, namun ke arah kiri atau di bawah kakinya (H.R. al-Bukhari no. 405, 417).”
Beberapa riwayat diatas menunjukkan kesucian ludah dan atau dahak. Sebab seseorang tidak boleh shalat di tempat yang najis atau menggunakan pakaian yang terkena najis (Lihat at-Taudliih, IV: 515). Bahkan para Sahabat bertabaruk dengan ludah Nabi saw. Andaikan ludah tersebut najis, tentu beliau akan melarangnya.
Adapun berkaitan dengan menelan atau tertelan dahak ketika puasa, berikut kami kutipkan fatwa dari asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 140053 (lihat juga fatwa no. 138623):
فالبلغم كما عرفه في القاموس خلط من أخلاط البدن وهو معروف وفي بلع البلغم أو النخامة إذا وصلت إلى الفم خلاف معروف للعلماء وقد رجح الشيخ العثيمين رحمه الله عدم الفطر بتعمد ابتلاعها فقال ما عبارته البلغم أو النخامة إذا لم تصل إلى الفم فإنها لا تفطر قولاً واحداً في المذهب فإن وصلت إلى الفم ثم ابتلعها ففيه قولان لأهل العلم منهم من قال إنها تفطر إلحاقاً لها بالأكل والشرب. ومنهم من قال لا تفطر إلحاقاً لها بالريق فإن الريق لا يبطل به الصوم حتى لو جمع ريقه وبلعه فإن صومه لا يفسد.
“Al-Baghlam (dahak) -sebagaimana defenisi yang terdapat di dalam kamus- adalah salah satu dzat campuran penyusun tubuh (defenisi ini berasal dari ilmu kedokteran Yunani kuno –pent) sebagaimana (jamak) diketahui.
Terdapat perbedaan para ulama tentang (hukum) menelan dahak atau riak apabila keduanya sampai (berada) di mulut. Syaikh al-‘Utsaimin menguatkan pendapat yang tidak membatalkan puasa meskipun ia sengaja menelannya. Beliau mengatakan -yang maknanya- ‘Riak atau dahak apabila belum sampai ke mulut, maka ia tidak membatalkan puasa (jika tertelan). Dan semua madzhab satu kata dalam hal ini.
Adapun jika ludah atau dahak berada di mulut kemudian ia menelannya, maka terdapat dua pendapat dari para ulama mengenai hal ini. Sebagian mereka berpendapat hal itu (menelan riak dan atau dahak) membatalkan puasa.
Hal ini disamakan dengan makan dan minum. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat hal tersebut tidak membatalkan puasa, karena disamakan dengan ludah; sebab ludah tidak membatalkan dan atau merusak puasa meskipun seseorang sengaja mengumpulkan kemudian menelannya.”
وإذا اختلف العلماء فالمرجع الكتاب والسنة وإذا شككنا في هذا الأمر هل يفسد العبادة أو لا يفسدها فالأصل عدم الإفساد. وبناء على ذلك يكون بلع النخامة لا يفطر والمهم أن يدع الإنسان النخامة ولا يحاول أن يجذبها إلى فمه من أسفل حلقه ولكن إذا خرجت إلى الفم فليخرجها سواء كان صائماً أم غير صائم. أما التفطير فيحتاج إلى دليل يكون حجة للإنسان أمام الله عز وجل في إفساد الصوم.
“Apabila terjadi perbedaan ulama, maka dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, apabila kita ragu (tentang apakah suatu perbuatan) merusak ibadah atau tidak, maka hukum asalnya adalah ibadah tersebut tidak rusak.
Berdasarkan kaidah ini, menelan dahak tidak membatalkan puasa. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah hendaknya manusia mengeluarkan (tidak menelan) dahak dan tidak pula berusaha untuk menariknya dari kerongkongan hingga ke mulut.
Oleh karena itu, apabila dahak ada di mulut hendaklah ia mengeluarkannya, baik dalam keadaan puasa maupun tidak. Sedangkan (terkait dengan) pembatalan puasa, harus disertai dengan dalil yang menjadi hujjah bagi manusia dihadapan Allah swt terkait dengan rusaknya puasa.”
Keterangan di atas menggambarkan adanya perbedaan ulama dalam hal menelan dahak yang ada di mulut, sebagian menyatakan tidak membatalkan puasa dan sebagian lain menyatakan membatalkan puasa.
Ulama Syafi’iyyah dan salah satu qaul dari imam Ahmad menyatakan batal puasa orang yang menelan dahaknya seperti yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi. Dan dalam madzhab Maliki juga tedapat perbedaan ini, meskipun pendapat yang rajih dalam madzhab ini menyatakan menelan dahak tidak membatalkan puasa.
<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- float galaksi -->
<ins class="adsbygoogle"
style="display:inline-block;width:300px;height:250px"
data-ad-client="ca-pub-4937615029504070"
data-ad-slot="8827837942"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa Ramadhan
Puasa
Advertisement
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa - Puasa adalah tentang meraih predikat taqwa, dan wasilah yang digunakan adalah menahan diri dari makan, minum, serta berhubungan badan antara suami dan istri di siang hari terutama di bulan Ramadhan. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat mengekang hawa nafsunya, baik yang bersumber dari perut atau kemaluan.
Jika makan dan minum di siang hari dapat membatalkan puasa, lalu bagaimana halnya dengan dahak, ingus dan sejenisnya jika tertelan atau sengaja ditelan ketika sedang puasa? Berikut bahasan singkatnya.
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa
Batuk Berdahak
Hal yang harus diketahui terlebih dahulu, ludah dan dahak adalah suci. Hal ini sebagaimana riwayat dari Rasulallah saw:
قَالَ عُرْوَةُ عَنِ المِسْوَرِ وَمَرْوَانَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ حُدَيْبِيَةَ فَذَكَرَ الحَدِيثَ وَمَا تَنَخَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ
“Urwah berkata, dari Miswar dan Marwan bahwa Nabi saw keluar (pergi) pada waktu (perjanjian) Hudaibiyah lalu disebutkan kisahnya….. Tidaklah Nabi saw berdahak, kecuali dahaknya tersebut jatuh di telapak tangan para Sahabat. Mereka mengusap dahak Nabi sholallahu alaihi wa salam tersebut di wajah dan kulitnya (H.R. al-Bukhari no. 2731).”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَزَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَوْبِهِ
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: ‘Nabi saw meludah di pakaiannya (H.R. al-Bukhari 241).”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي القِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ
“Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw melihat dahak (nukhaamah) pada kiblat, beliau merasa berat (tidak senang) akan hal itu dan itu nampak di wajahnya. Kemudian beliau mengeriknya dengan tangan. Setelah itu beliau bersabda: ‘Sungguh salah seorang dari kalian sedang berhadapan dengan Rabnya ketika shalat, atau sungguh Rabbnya berada antara dirinya dan kiblat. Maka janganlah salah satu dari kalian meludah ke arah kiblat, namun ke arah kiri atau di bawah kakinya (H.R. al-Bukhari no. 405, 417).”
Beberapa riwayat diatas menunjukkan kesucian ludah dan atau dahak. Sebab seseorang tidak boleh shalat di tempat yang najis atau menggunakan pakaian yang terkena najis (Lihat at-Taudliih, IV: 515). Bahkan para Sahabat bertabaruk dengan ludah Nabi saw. Andaikan ludah tersebut najis, tentu beliau akan melarangnya.
Adapun berkaitan dengan menelan atau tertelan dahak ketika puasa, berikut kami kutipkan fatwa dari asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 140053 (lihat juga fatwa no. 138623):
فالبلغم كما عرفه في القاموس خلط من أخلاط البدن وهو معروف وفي بلع البلغم أو النخامة إذا وصلت إلى الفم خلاف معروف للعلماء وقد رجح الشيخ العثيمين رحمه الله عدم الفطر بتعمد ابتلاعها فقال ما عبارته البلغم أو النخامة إذا لم تصل إلى الفم فإنها لا تفطر قولاً واحداً في المذهب فإن وصلت إلى الفم ثم ابتلعها ففيه قولان لأهل العلم منهم من قال إنها تفطر إلحاقاً لها بالأكل والشرب. ومنهم من قال لا تفطر إلحاقاً لها بالريق فإن الريق لا يبطل به الصوم حتى لو جمع ريقه وبلعه فإن صومه لا يفسد.
“Al-Baghlam (dahak) -sebagaimana defenisi yang terdapat di dalam kamus- adalah salah satu dzat campuran penyusun tubuh (defenisi ini berasal dari ilmu kedokteran Yunani kuno –pent) sebagaimana (jamak) diketahui.
Terdapat perbedaan para ulama tentang (hukum) menelan dahak atau riak apabila keduanya sampai (berada) di mulut. Syaikh al-‘Utsaimin menguatkan pendapat yang tidak membatalkan puasa meskipun ia sengaja menelannya. Beliau mengatakan -yang maknanya- ‘Riak atau dahak apabila belum sampai ke mulut, maka ia tidak membatalkan puasa (jika tertelan). Dan semua madzhab satu kata dalam hal ini.
Adapun jika ludah atau dahak berada di mulut kemudian ia menelannya, maka terdapat dua pendapat dari para ulama mengenai hal ini. Sebagian mereka berpendapat hal itu (menelan riak dan atau dahak) membatalkan puasa.
Hal ini disamakan dengan makan dan minum. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat hal tersebut tidak membatalkan puasa, karena disamakan dengan ludah; sebab ludah tidak membatalkan dan atau merusak puasa meskipun seseorang sengaja mengumpulkan kemudian menelannya.”
وإذا اختلف العلماء فالمرجع الكتاب والسنة وإذا شككنا في هذا الأمر هل يفسد العبادة أو لا يفسدها فالأصل عدم الإفساد. وبناء على ذلك يكون بلع النخامة لا يفطر والمهم أن يدع الإنسان النخامة ولا يحاول أن يجذبها إلى فمه من أسفل حلقه ولكن إذا خرجت إلى الفم فليخرجها سواء كان صائماً أم غير صائم. أما التفطير فيحتاج إلى دليل يكون حجة للإنسان أمام الله عز وجل في إفساد الصوم.
“Apabila terjadi perbedaan ulama, maka dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, apabila kita ragu (tentang apakah suatu perbuatan) merusak ibadah atau tidak, maka hukum asalnya adalah ibadah tersebut tidak rusak.
Berdasarkan kaidah ini, menelan dahak tidak membatalkan puasa. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah hendaknya manusia mengeluarkan (tidak menelan) dahak dan tidak pula berusaha untuk menariknya dari kerongkongan hingga ke mulut.
Oleh karena itu, apabila dahak ada di mulut hendaklah ia mengeluarkannya, baik dalam keadaan puasa maupun tidak. Sedangkan (terkait dengan) pembatalan puasa, harus disertai dengan dalil yang menjadi hujjah bagi manusia dihadapan Allah swt terkait dengan rusaknya puasa.”
Keterangan di atas menggambarkan adanya perbedaan ulama dalam hal menelan dahak yang ada di mulut, sebagian menyatakan tidak membatalkan puasa dan sebagian lain menyatakan membatalkan puasa.
Ulama Syafi’iyyah dan salah satu qaul dari imam Ahmad menyatakan batal puasa orang yang menelan dahaknya seperti yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi. Dan dalam madzhab Maliki juga tedapat perbedaan ini, meskipun pendapat yang rajih dalam madzhab ini menyatakan menelan dahak tidak membatalkan puasa.
<!-- float galaksi -->
<ins class="adsbygoogle"
style="display:inline-block;width:300px;height:250px"
data-ad-client="ca-pub-4937615029504070"
data-ad-slot="8827837942"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa Ramadhan
Puasa
Advertisement
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa - Puasa adalah tentang meraih predikat taqwa, dan wasilah yang digunakan adalah menahan diri dari makan, minum, serta berhubungan badan antara suami dan istri di siang hari terutama di bulan Ramadhan. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat mengekang hawa nafsunya, baik yang bersumber dari perut atau kemaluan.
Jika makan dan minum di siang hari dapat membatalkan puasa, lalu bagaimana halnya dengan dahak, ingus dan sejenisnya jika tertelan atau sengaja ditelan ketika sedang puasa? Berikut bahasan singkatnya.
Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Puasa
Batuk Berdahak
Hal yang harus diketahui terlebih dahulu, ludah dan dahak adalah suci. Hal ini sebagaimana riwayat dari Rasulallah saw:
قَالَ عُرْوَةُ عَنِ المِسْوَرِ وَمَرْوَانَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ حُدَيْبِيَةَ فَذَكَرَ الحَدِيثَ وَمَا تَنَخَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ
“Urwah berkata, dari Miswar dan Marwan bahwa Nabi saw keluar (pergi) pada waktu (perjanjian) Hudaibiyah lalu disebutkan kisahnya….. Tidaklah Nabi saw berdahak, kecuali dahaknya tersebut jatuh di telapak tangan para Sahabat. Mereka mengusap dahak Nabi sholallahu alaihi wa salam tersebut di wajah dan kulitnya (H.R. al-Bukhari no. 2731).”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَزَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَوْبِهِ
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: ‘Nabi saw meludah di pakaiannya (H.R. al-Bukhari 241).”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي القِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ
“Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw melihat dahak (nukhaamah) pada kiblat, beliau merasa berat (tidak senang) akan hal itu dan itu nampak di wajahnya. Kemudian beliau mengeriknya dengan tangan. Setelah itu beliau bersabda: ‘Sungguh salah seorang dari kalian sedang berhadapan dengan Rabnya ketika shalat, atau sungguh Rabbnya berada antara dirinya dan kiblat. Maka janganlah salah satu dari kalian meludah ke arah kiblat, namun ke arah kiri atau di bawah kakinya (H.R. al-Bukhari no. 405, 417).”
Beberapa riwayat diatas menunjukkan kesucian ludah dan atau dahak. Sebab seseorang tidak boleh shalat di tempat yang najis atau menggunakan pakaian yang terkena najis (Lihat at-Taudliih, IV: 515). Bahkan para Sahabat bertabaruk dengan ludah Nabi saw. Andaikan ludah tersebut najis, tentu beliau akan melarangnya.
Adapun berkaitan dengan menelan atau tertelan dahak ketika puasa, berikut kami kutipkan fatwa dari asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 140053 (lihat juga fatwa no. 138623):
فالبلغم كما عرفه في القاموس خلط من أخلاط البدن وهو معروف وفي بلع البلغم أو النخامة إذا وصلت إلى الفم خلاف معروف للعلماء وقد رجح الشيخ العثيمين رحمه الله عدم الفطر بتعمد ابتلاعها فقال ما عبارته البلغم أو النخامة إذا لم تصل إلى الفم فإنها لا تفطر قولاً واحداً في المذهب فإن وصلت إلى الفم ثم ابتلعها ففيه قولان لأهل العلم منهم من قال إنها تفطر إلحاقاً لها بالأكل والشرب. ومنهم من قال لا تفطر إلحاقاً لها بالريق فإن الريق لا يبطل به الصوم حتى لو جمع ريقه وبلعه فإن صومه لا يفسد.
“Al-Baghlam (dahak) -sebagaimana defenisi yang terdapat di dalam kamus- adalah salah satu dzat campuran penyusun tubuh (defenisi ini berasal dari ilmu kedokteran Yunani kuno –pent) sebagaimana (jamak) diketahui.
Terdapat perbedaan para ulama tentang (hukum) menelan dahak atau riak apabila keduanya sampai (berada) di mulut. Syaikh al-‘Utsaimin menguatkan pendapat yang tidak membatalkan puasa meskipun ia sengaja menelannya. Beliau mengatakan -yang maknanya- ‘Riak atau dahak apabila belum sampai ke mulut, maka ia tidak membatalkan puasa (jika tertelan). Dan semua madzhab satu kata dalam hal ini.
Adapun jika ludah atau dahak berada di mulut kemudian ia menelannya, maka terdapat dua pendapat dari para ulama mengenai hal ini. Sebagian mereka berpendapat hal itu (menelan riak dan atau dahak) membatalkan puasa.
Hal ini disamakan dengan makan dan minum. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat hal tersebut tidak membatalkan puasa, karena disamakan dengan ludah; sebab ludah tidak membatalkan dan atau merusak puasa meskipun seseorang sengaja mengumpulkan kemudian menelannya.”
وإذا اختلف العلماء فالمرجع الكتاب والسنة وإذا شككنا في هذا الأمر هل يفسد العبادة أو لا يفسدها فالأصل عدم الإفساد. وبناء على ذلك يكون بلع النخامة لا يفطر والمهم أن يدع الإنسان النخامة ولا يحاول أن يجذبها إلى فمه من أسفل حلقه ولكن إذا خرجت إلى الفم فليخرجها سواء كان صائماً أم غير صائم. أما التفطير فيحتاج إلى دليل يكون حجة للإنسان أمام الله عز وجل في إفساد الصوم.
“Apabila terjadi perbedaan ulama, maka dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, apabila kita ragu (tentang apakah suatu perbuatan) merusak ibadah atau tidak, maka hukum asalnya adalah ibadah tersebut tidak rusak.
Berdasarkan kaidah ini, menelan dahak tidak membatalkan puasa. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah hendaknya manusia mengeluarkan (tidak menelan) dahak dan tidak pula berusaha untuk menariknya dari kerongkongan hingga ke mulut.
Oleh karena itu, apabila dahak ada di mulut hendaklah ia mengeluarkannya, baik dalam keadaan puasa maupun tidak. Sedangkan (terkait dengan) pembatalan puasa, harus disertai dengan dalil yang menjadi hujjah bagi manusia dihadapan Allah swt terkait dengan rusaknya puasa.”
Keterangan di atas menggambarkan adanya perbedaan ulama dalam hal menelan dahak yang ada di mulut, sebagian menyatakan tidak membatalkan puasa dan sebagian lain menyatakan membatalkan puasa.
Ulama Syafi’iyyah dan salah satu qaul dari imam Ahmad menyatakan batal puasa orang yang menelan dahaknya seperti yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi. Dan dalam madzhab Maliki juga tedapat perbedaan ini, meskipun pendapat yang rajih dalam madzhab ini menyatakan menelan dahak tidak membatalkan puasa.
.tongkronganislami